Yang Serona

Barang imitasi, jika tidak benar-benar jeli maka kau akan tertipu. Memang akan terlihat sama persis jika dilihat sekilas, namun jika matamu tajam kau akan tahu bahwa tidak ada yang bisa menyamai sesuatu yang asli. Menjadi inspirasi yang lain boleh saja, tapi jika di tiru beda cerita. Meniru, menjiplak dan membuatmu merubah dirimu menjadi orang lain itu memuakkan.

Suatu hari aku baru menyadari, ada seorang gadis yang suka sekali menjiplakku. Ingin kutonjok rasanya (tembok disampingku bukan gadis itu). Namanya Kartini, gadis dengan rambut yang begitu panjang mencapai pantat namun selalu diikat kuda. Tadinya poninya polem alias poni lempar, tapi setelah mengenalku poninya berubah, sama sepertiku poni depan dan rata. Dulu aku mengenalnya dari sahabatku Luna. 

Sebelum dikenalkan dengan Kartini, anak-anak disekolah juga sering salah menyapaku dengan panggilan Tini. Saat tahu aku bukan Tini, mereka akan langsung berdalih, “loh kirain Tini, dari belakang mirip banget!” atau “Eh, sorry kirain Tini potong rambut” atau tiba-tiba ada adik kelas yang begitu sopan padaku dan terlihat sangat antusias saat melewati tangga menuju kelasku. Tini memang Kakak kelasku, dan banyak Kakak kelas atau adik kelas yang sering salah mengira karena ‘kebetulan’ bentuk kami sama. Secara fisik kami memang hampir sama, kami sama-sama kecil, pendek, dada rata, dan memiliki muka kecil. Rambutku pendek sebahu, sedangkan dia (sudah kujelaskan diatas). Setelah seringnya kekeliruan ‘sapaan’ terjadi, aku penasaran dengan gadis bernama Kartini ini. Apakah semirip itu denganku?. Dan setelah aku ketahui ternyata tidak!. Apanya yang mirip?. Gadis itu cenderung tomboy, cara bicaranya juga penuh penekanan dan suaranya agak berat. Dia selalu heboh saat bertemu dengan teman-temannya di pagi hari saat di sekolah. Aku tidak begitu!. Aku berbeda. Walau karena fisik kami sama, aku tetap tidak suka disama-samakan dengan orang lain. Aku Joy! Joy ya Joy. Bukan Kartini. 

Hingga akhirnya Luna, tiba-tiba mengajakku ke kantin dan mengenalkan Kartini padaku.

“Ini Joy yang sering aku ceritakan padamu” salam Luna mengenalkanku pada Tini di kantin.

Dia sedikit bergeming menatapku. Aku biasa saja.

“Jadi kamu yang sering dimirip-miripkan sama aku?” tawanya. Apa dia bangga? Yuuuh. “Nggak kusangka, memang beneran mirip loh. Aku pernah disapa anak yang tidak ku kenal dengan panggilan Joy, aku bingung, tapi sekarang aku memahaminya” lanjutnya masih tertawa. Kan tidak ada yang lucu, mengapa harus tertawa terus?.

1 bulan berlalu, aku memperhatikan banyak yang berubah dari Kartini. Dia tidak setomboy saat pertama kali aku memperhatikannya. Sekarang dia lebih suka menggunakan tas slempang (sama sepertiku), warna tasnya cokelat (sama sepertiku), sepatu flat (sama sepertiku), bahkan baru aku sadari poninya dipotong sama persis seperti poni rataku!. Oke kuakui, bisa saja banyak gadis diluar sana yang menyerupaiku, dengan tas, sepatu, poni atau apalah tapi kan aku tidak mengenalnya dan mereka tidak terang-terangan merubah diri karena melihatku. Tapi Kartini…benar-benar membuatku jengkel. Anggaplah aku seperti anak kecil. Peduli amat, aku tidak suka orang lain menjiplakku. Apalagi dia teman dari sahabatku. 

“eh..si kembar datang, makin hari makin mirip aja 2 orang ini” celetuk salah satu teman Kartini saat kami tidak sengaja melewati gerbang sekolah bersamaan. 

Aku meniup poniku. Pagi hari sudah terasa panas. Sial. Aku masih bersabar. Tenang saja.

“lihat, aku kemarin beli kalung baru di strawberry! Bagus kan?” oceh Tini.

Aku sempat meliriknya. Dan what the..!!! kalungnya sama persis seperti yang sedang kupakai. Astaga ada apa dengan gadis ini?. Aku berlari ke kelas dan langsung melepas kalungku, aku berjanji tidak akan memakainya hingga dia melepas miliknya. Terserah kalian bilang aku keterlaluan. Bagiku Tini lah yang keterlaluan. 

Aku sudah berhari-hari memikirkan bagaimana caranya agar Tini tidak terus saja mengikuti apa yang ku kenakan. Sebenarnya aku adalah manusia paling cuek didunia, itu kata Luna. Tapi memang begitu, aku orang terlalu masa bodoh dengan apa yang terjadi disekitarku. Aku juga cenderung menutup diri dan tidak suka terlalu dekat (dalam hubungan) dengan orang lain. Luna satu-satunya orang yang memahamiku. Tapi mengenai Tini, aku sengaja tidak memberitahu Luna, merekan kan berteman, seangkatan pula. Jika aku bicara pada Luna tenang Tini, bisa-bisa aku dikira iri karena mereka berteman. Ogah deh. Tapi setidakpedulinya aku terhadap satu hal, jika satu hal itu nampak jelas sangat mengganggu, aku akan berupaya ehm..ehm..apa ya bahasa yang tepat untuk mendiskripsikannya, ehm..aku akan berusaha membuat tembok. Seperti kura-kura dalam tempurungnya, seperti landak dalam durinya, atau seperti siput dalam cangkangnya. Ya seperti itu. 

“Joy! Luna dan Kembaranmu menunggu di kantin. Kau di minta menyusul” teriak ketua kelas dari pintu.

“kembaran gundulmu!” pekikku. 

Aku malas menyusul Luna, apalagi ada Tini. Aku yakin dia akan menunjukkan sesuatu yang mirip dengan apa yang aku punya lainnya. Jadi sebaiknya aku dikelas saja dengan novelku. Hah.

Kusangka Luna dan Tini akan menyerah. Ternyata tidak!. Mereka menyambangi kelasku dengan sok (kakak kelas memang begitu). 

“Joy, kenapa kamu nggak nyusul kita sih?” Tanya Luna.

“padahal aku mau nunjukin sesuatu yang baru loh” sergah Tini. Sudah kuduga. “lihat! Aku minta dibuatkan rok sekolah baru, sengaja aku buat begini, lebih lucu”

Aku shock lagi dan lagi. Rok model itu sudah ku buat sejak aku masuk sekolah ini. Dan di menconteknya. Rok SMA biasanya dibelah satu bagian depanya, sedangkan punyaku ku buat ploi 6 belakang dan depan. Jadi seperti rok sekolah Jepang. Aku sangat menyukai  model itu, aku tidak peduli jika harus dihukum guru karena menyalahi aturan, tapi model ini membuatku nyaman. Dan “dia” menjiplaknya, sama persis. Ooh ijinkan aku berkata kasar. KASAR!!!!

“jadi ‘itu’ alasan kalian menungguku di kantin?” aku menunjuk rok ‘baru’nya itu dengan daguku. 

“ya ampun sensi amat sih, lagi menstrusasi ya?.” Tawa Luna. “yaudah deh, kita balik kelas aja daripada mengganggu, oh iya ntar balik sekolah kita mau ke strawberry, ikut?” tanyanya. 

Nggak usah ditanya, “Nggak” jawabku cepat.

Sempat kulirik raut wajah Tini yang berubah murung. Tak akan ku ijinkan lagi gadis itu melewati temboku. 

“cieee abis didatengin kembaran” goda ketua kelasku lagi.

“berisik kamu!” bentakku.

Semakin lama aku merasa lebih tenang. Tidak ada tanda-tanda Tini lagi disekitarku. Mungkin karena aku lebih suka menghabiskan waktu dikelas. Aku juga jarang menemui Luna. Peduli apa dia mau berteman dengan siapa. Hingga sudah hampir 3 minggu aku takjub, karena Tini benar-benar tidak menampakkan hidungnya didepanku. Aku senang, tentu saja. Tapi rasa penasaran menghampiriku sedikit. Aku memang cuek, tapi tetap saja aku masih punya rasa, entah rasa apapun itu. Jadi, dengan sedikit iseng karena sudah lama tak menghampiri Luna. Aku putuskan menghampirinya di kelas saat jam istirahat. Tumben sekali saat aku masuk kelas, tidak ada yang berceloteh tentang kemiripanku dengan Tini. Tapi justru ini yang aku suka. 

“Tumben nggak ke kantin Lun?” sapaku sembari duduk didepannya. Sebenarnya  tidak perlu kutanyakan, jika saat ini Luna sedang menghadap kotak bekal dengan nasi segunung dan sayur asam kesukaannya. 

Luna membalas dengan mulutnya yang penuh. “ibuku membuatkanku bekal agar lebih hemat katanya” kemudian menelan apa yang sedang dikunyahnya.

“bukannya hobimu kekantin bersama si Tini?” aku mulai menyelidik.

Luna mengambil tumbler minum didepannya tergesa, seperti hendak terbatuk. 

“makanya, makan pelan-pelan saja. Aku toh nggak akan merebut makananmu Lun” sergahku melihat tingkahnya.

“kau tidak tahu?” tanyanya heran.

“apa?” Tanya ku lebih heran.

“Tini kan sudah pindah sekolah sejak 3 minggu yang lalu, sehari setelah kami mengunjungi kelasmu setelah dirinya memperlihatkan rok barunya padamu”

“pindah sekolah? Saat ujian sudah didepan mata? Mana mungkin” sergahku tak percaya.

“kemana saja kamu? Terlalu sibuk dengan novelmu? Saat itu kami berniat mengajakmu ke strawberry karena Tini mau membelikan hadiah buat mu dan untukku tentunya sebagai tanda perpisahan. Tapi kau kan tidak mau”

“mustahil. Diakan sudah kelas 12. Mana ada yang mau menerima murid pindahan kelas 12 Lun” timpalku.

Raut muka Luna berubah muram.

“ehm..ya memang bukan pindah sekolah. Sebenarnya Tini memutuskan untuk berhenti sekolah”

“ha?” cerita Luna terasa mengganjal sekali. Mana mungkin tiba-tiba putus sekolah saat ujian sudah dekat.

“aku tadinya juga tidak percaya. Tini bilang, neneknya dikampung sakit keras, dan hanya kakeknya yang menjaga. Selama ini Tini kan kos, uang sekolah pun dia dapat karena beasiswa. Kakeknya bekerja sebagai pembuat keranjang bunga. Sedangkan jika neneknya sedang sakit tidak ada mengurus, jika kakeknya berhenti bekerja mau makan apa neneknya?. Jadi Tini memutuskan berhenti sekolah untuk menjaga neneknya”

“kemana orang tuanya?”

“Ya Tuhan anak ini, makanya jangan jadi manusia yang terlalu cuek. Orang tua Tini sudah meninggal sejak dia SMP. Tini kan ngekos sejak SMP”

“lalu bagaimana selama ini dia bisa beli ini itu dan menucukupi kebutuhan hidupnya saat kos?”

“kerja paruh waktu lah. Mau bagaimana lagi. Saat aku mengenalkan dia padamu, dia senang sekali. Katanya seperti melihat dirinya yang lain. Dirinya yang hidup bahagia, bebas, dan bisa seenaknya tidak peduli pada orang lain dan lingkungan sekitarmu. Kamu bisa melanggar peraturan sekolah dengan tenang tanpa khawatir sewaktu-waktu beasiswamu dicabut. Kamu juga punya sahabat yang baik sepertiku, itu dia yang mengatakannya. Sedangkan dia? bahkan bisa menyapa teman-teman di pagi hari saat datang ke sekolah saja, dia sangat bersyukur”

Seperti ada yang menghantam dadaku keras-keras sehingga rasanya mau bernapaspun sengau. Pundakku melorot, ada gejolak aneh dalam pikiran dan hatiku. Aku merasa kecil, bodoh, tidak punya hati, dan ingin menampar diri sendiri.

Apasih yang aku banggakan dari diriku selama ini??. Betapa malunya aku saat mengetahui fakta itu dari Luna. Ingin aku merengkuh Tini saat itu juga, tapi terlambat. Tini sudah tidak sekolah lagi, Tini tidak menjadi kakak kelasku lagi. Tini tidak akan mengusikku lagi. Dan aku? Aku tidak akan disama-samakan lagi. Disamakan dengan seorang Kartini yang berani mengorbankan masa depan demi menjadi sahabat Neneknya diusia senja.

Jumat, 1 Desember 2017. 19.26.



Komentar

Postingan Populer