Gadis Tompan (Part 1)
Umurku 7 tahun saat pindah ke Jawa Tengah. Itu tahun 1998 kalau tidak salah. Aku dilahirkan dikota khatulistiwa Pontianak. Jarak ke Jawa waktu itu aku tempuh 3 hari 2 malam, menggunakan kapal laut tentu saja. Ayah dan Mami tidak punya cukup punya banyak uang untuk beli tiket pesawat. Tapi kemalangan menimpa Mami karena kami memilih naik kapal, Mamiku tukang mabuk. Mabuk darat dan mabuk laut.
3 hari terombang-ambing ombak laut, belum membuatku berpikir aku akan pindah provinsi untuk jangka waktu yang panjang bahkan mungkin selamanya. Untuk apa aku pikirkan toh saat itu aku masih kecil, lugu, dan bodoh. Saat itu bahkan aku belum begitu mengerti apa itu provinsi atau istilah transmigrasi.
Aku lupa bagaimana perjalananku ke rumah mbah kakung. Yang ku ingat kami dulu naik taxi dan tiba-tiba saja sudah banyak orang yang mengerubungi mobil itu. Aku melihat -sosok tua dengan tenaga laki-laki muda memanggul televisi dalam kardus yang ayah bawa dari Pontianak- dari belakang.
Tanganku digandeng oleh mami. Kami menuju rumah itu. Rumah yang akan menjadi tempat bernaung kami selama hidup di jawa.
Rumah itu…tua. Reyot. Pengap. Kecil. Dari bambu. Dan…rumah itu nempel dengan tanah dibawahnya. Aku baru sadar, rumah di sekitar juga menempel ditanah, dibawahnya. Aku heran, di Pontianak semua rumah yang kulihat dari kayu kokoh, dan lantainya tidak menempel ditanah. Bentuknya panggung. Setidaknya rumah-rumah di kampungku seperti itu semua, ada satu rumah mewah yang berbeda juga, rumah kak Mega. Saudara jauuuuuuh ku. Jauh sekali pokoknya. Hubungan saudara nya yang jauh bukan rumahnya. Rumah kak Mega megah sekali. Ruang tamunya ada di bawah, eehmm..bagaimana aku harus menjelaskannya? Ehhmm pokonya jika kamu bertamu disana dan diajak keruang tamu kamu turun kebawah dari arah pintu masuk, seperti kamu turun ke kolam renang tapi isi nya kursi ruang tamu dan tetek bengek hiasan ruang tamu lainnya. Bagiku itu unik sekali. Aku suka main kesana.
Sedangkan rumah yang di Jawa ini…membuatku tidak mau menyentuh apapun. Aku hanya duduk di kursi. Diam. Kaku. Tapi menoleh kesana kemari memperhatikan rumah unik ini. Atapnya dari anyaman bamboo, dindingnya juga anyaman bambu. Pagar depan rumah tadi sempat kulihat juga bambu. Hah?? Bagaimana bisa semuanya dari bambu? Ooh dan aku baru sadar, aku masuk kerumah ini tanpa melepas sandal! Lantainya dari tanah! TIDAAAAAAAAK. Aku semakin tidak mau bergerak. Seperti ada…perasaan jijik. Entahlah.
Disampingku aku perhatikan mami, tidak kalah takjub seperti ku. Setidaknya mami tidak sekaku diriku. Berusaha beramah tamah dengan ayah mertua yang duduk diseberangnya tanpa baju. Orang tua laki-laki itu yang tadi membawa kardus televisi kami. Sekarang sedang tersenyum ramaaaaah sekali. Raut wajahnya bahagia sekali, seperti baru saja mendapat hadiah dorprise selusin sendok makan.
Aku tahu mami berpura-pura terlihat bahagia dan antusias. Kulihat sejak tadi tangannya sering terkepal risau. Seperti gelagat orang yang tidak mau berlama-lama saat melihat kucing mati. Risih tapi kasihan. Wajahnya dipaksa-paksa menyunggingkan senyum, mendengar percakapan ayah dan orang tua laki-laki didepannya. Seolah-olah paham apa yang mereka bicarakan. Ha ha. Hellooooo mereka berbahasa jawa tulen. Mami itu orang bugis campuran darah cina. Tentu saja hanya paham bahasa bugis, dan sedikit lancar berbahasa cina. Bahasa jawa? BYE.
Ayah beda lagi, duduk dengan santai tanpa banyak bicara. Seperti setengah melamun namun sudah terbiasa dengan keadaan ini.
Tiba-tiba seorang wanita menyuguhkan teh di meja. Tanpa senyum. Ada mimik wajah antara ingin tahu, senang, dan malu luar biasa. Itu hanya perkiraanku.
“nama kamu siapa?” Tanya orang tua laki-laki itu padaku.
Mulutku kelu. Tidak mau menjawab.
Mami menyodokku, sepertinya paham apa yang kurasakan.
“Elf …” lalu? Aku gelagapan takut. Lalu aku bilang apa selanjutnya. Elf, kek? Elf, datuk? Elf, opa? Elf, koh? Elf..Elf..Elf..Elf…aaarrrgg Elf, apa? Aku harus bagaimana menyebut orang tua laki-laki ini?
Seperti mengerti apa yang ada dibenakku, orang tua itu melanjutkan “mbah..panggil saja mbah atau mbah kakung dan itu budhe mu” senyumnya senang sambil menujuk wanita penyuguh minuman tadi.
Mulutku mengatup tak mau menurut atau menirukan. Mbah..? budhe? ooh tentu saja aku kan di Jawa. Rasanya ingin menangis. Aku ingin pulang kerumahku. Ke Pontianak. Tapi kenyataan yang tidak bisa aku terima, ini adalah rumahku sekarang.
Aku tidak tahu kelanjutan hidupku. Bagaimana sekolahku, bagaimana ngajiku, bagaimana nanti aku bermain, semua tidak terbayang sama sekali. Aku tidak mau melakukan apapun disini. Hoek, sepertinya efek naik kapal baru menyerangku sekarang. Aku mabuk. Ntah mabuk apa namanya.
Di hari ke tiga Ayah mengajakku berkeliling desa dengan sepeda. Menunjukkan calon SD baru ku yang aneh, calon tempat ngajiku yang aneh, rumah saudara-saudara mbah kakung yang aneh, pokoknya semuanya. Bahkan yang tidak aneh pun bagiku aneh.
Aku tidak berminat untuk apapun disini. Biasanya aku sudah main ke hutan mencari manggis yang jatuh, bersama Dita sepupuku, atau mandi bersama di Sungai Kapuas ramai-ramai dengan teman-teman lain, atau main dirumah Kak Merry sahabat ku yang cerdas dan cantik. Hiks aku merindukan mereka semua.
Aku keruang tamu, Mami, Ayah, dan mbah kakung berkumpul disana. Aku…melihat mami sedang menangis. Meraung lebih tepatnya. Ntah apa yang dikatakan mami, aku tidak paham Bahasa Bugis! Apalagi Mbah Kakung. Orang tua itu terlihat sangat cemas, dan merasa bersalah karena tidak tahu harus berbuat apa.
“kenapa kamu? Ngomong saja..nanti saya bantu..” kata mbah kakung. Bahasa Indonesianya berlogat jawa tapi bagus, aku suka karena terdengar menentramkan.
Mami terus saja menangis dan maracau dalam bahasa Bugis nya, Ayah terdiam dan hanya mengenggam tangan Mami. Mami sama sepertiku. Tidak kerasan. Tidak betah. Dan ingin kembali ke tanah kelahiran kami. Pontianak. Aku benci melihat pemandangan seperti ini, Mami bisa menangis sepuasnya, tapi aku? Aku tidak bisa. Aku penyimpan rasa. Aku memendam rasa sedih itu sendiri. Dan akhirnya aku menjadi Gadis Tompan. Bagi orang Pontianak, tompan artinya darah campuran (maksudnya campuran Pontianak dan luar Pontianak). Aku campuran Jawa dan Pontianak. Aku benci status tompan karena membuatku seolah tidak punya status yang jelas, apakah aku pribumi Jawa atau pribumi Kalimatan Barat. Oohh sebaiknya aku tidur saja. Siapa tahu ketika aku bangun ternyata aku ada dikamar dengan Dita disampingku keesokan harinya.
Besok hari pertamaku masuk sekolah baru, uuuh perutku mual. Lubang hidungku rasanya jadi menyempit.
“Elf” panggil Budhe.
Aku menoleh.
“ikut Budhe yuk, Budhe mau kenalkan kamu sama seseorang. Dia akan jadi teman sekolahmu besok”
Aaarrghh. Perutku tambah mual. Tapi aku menurut saja. Aku dibawa kerumah diujung gang. Seorang anak perempuan membukakan pintu, wajahnya terlihat antusias ketika melihatku muncul dari belakang punggung Budhe.
“Ibu…ada Budhe datang sama..” gadis itu kebingungan. Jelas lah, diakan tidak tahu namaku.
“Namanya Elf” timpal Budhe.
Gadis itu tersenyum. Pipi nya semakin terlihat cubby jika tersenyum.
“Eeehh akhirnya datang juga gadis Pontianak ini. Ayok masuk. Masuk dulu budhe” ajak Ibu gadis itu dengan lilitan meteran pengukur badan di lehernya. Tubuh tambunnya terlihat menggemaskan.
“Ini Dania, dia akan jadi teman sekelasmu, besok kamu berangkat sekolah sama dia ya. Jalan kaki bareng-bareng kan seneng” Budhe memperkenalkan kami.
Aku masih sama kakunya seperti pertama kali datang ke rumah mbah kakung.
“Besok aku ampiri kamu deh” ucap Dania ramah. Anak ini tampaknya menyenangkan.
Beberapa saat kemudian, Budhe sudah sibuk menanyakan jahitannya ke Ibu Dania. Aku juga harus memanggilnya Budhe. Di Pontianak aku memanggil siapapun yang sebayar dengan Mami dengan sebutan Bibi. Tapi ini Jawa.
Budhe Dania itu seorang tukang jahit. Sedangkan aku diajak main monopoli sama Dania. Yeeeah aku suka sekali main monopoli. Baru kali ini aku agak betah dengan suasana yang muncul, biasanya aku sudah ingin muntah dan selalu mual melihat sesuatu yang baru. Karena semuanya terasa beda. Beda sekali. Tapi tidak dengan monopoli ini. Aku dapat teman baru juga.
Dania memang menghampiriku pagi harinya, tapi aku memaksa Ayah untuk ikut bersama ku. Uuh perutku mual dan aku ingin menangis. Aku benar-benar tidak mau ke sekolah dan menjadi murid baru. Rasanya seram. Seseram saat kamu sendirian di kegelapan setelah lampu kamar tidur dimatikan.
Aku membututi guru perempuan yang bertampang galak (setelah di hari sebelumnya aku sudah didaftarkan di sekolah baruku), rambutnya pendek sekali seperti potongan rambu-rambut polwan. Aku menunduk terus. Ya ampuuun ingin rasanya menyeret ayah ke dalam kelas! Biar saja dianggap norak, manja, atau bodoh. Aku kan baru 7 tahun! Aku boleh seperti itu. Tapi….kuputuskan aku sendiri saja melawan 16 pasang mata anak-anak jawa yang akan menjadi teman sekelas ku mulai hari ini.
“Naaah anak-anak hari ini ada teman baru. Dari Pontianak lho.”
Iihh guru ini norak sekali, memangnya kenapa kalau dari Pontianak? kan Pontianak itu juga Indonesia. Bukan Portugal ,Peru, atau Perancis. Anak-anak berbisik bising. Penasaran tapi tak mau buka mulut langsung. Uuh wajahku panas. Telingaku berdenging. Aku hanya berusaha menenangkan diri, aku masih punya teman kok..tenaang ada Ayah diluar sana, dan Dania di….(mataku bergerak seperti sensor merah untuk menemukan tempat duduk Dania) tunggu! aku mengerutkan kening. 8 anak laki-laki, 8 anak perempuan. Tapi tidak ada Dania!! Dimana anak itu? Bukankah kata budhe Dania sekelas dengan ku?.
“Naah..namanya Elfasea panggil saja…” guru itu berhenti sejenak, memandangku meminta jawaban.
“Elf, panggil saya Elf” lanjutku.
“Naaah panggil apa anak-anak?” Tanya guruku.
“Elllff…..”seisi ruangan itu bersuara.
“Naah Elf, duduklah disana. Disebelah Mei” perintahnya.
Mei? Mei siapa? Yang mana? Aku kan tidak tahu. Tapi ku lihat ada 2 bangku kosong. Yang satu disebelah gadis berambut di kucir kuda, dan yang satu disebelah anak laki-laki berkulit hitam. Aku memutuskan duduk disebelah si gadis yang berkucir kuda. Anak laki-laki itu tidak mungkin bernama Mei kan?.
Aku baru tahu guru perempuan tadi bernama Bu Zaenab. Dia wali kelasku juga. Dan sudah dipastikan Dania memang tidak sekelas dengan ku. Kesal sekali aku dibohongi Budhe. Aku masuk kelas 3A. A untuk anak-anak berotak cerdas (katanya). Aku diberi tahu Mei tadi saat istirahat. Beberapa anak lain antusias sekali mengajakku bicara. Pertanyaan mereka juga aneh-aneh.
“Pontianak kan yang di lewati garis khatulistiwa, garis nya kaya apa sih? Lurus tidak?” yang bertanya ini namanya Endah.
“Rumahmu kayak apa di Pontianak? Apa yang kaya ditipi-tipi itu? Diatas pohon?” anak ini serius sekali ketika bertanya. Namanya Anggraini. Astaga apa dipikirnya aku anak suku pedalaman atau keturunan simpanse???
“Pak Lek ku juga tinggal di Pontianak, katanya disana panas sekali. Tapi kenapa kulitmu putih?” Nahh setidaknya pertanyaan ini bermutu walaupun tidak penting.
“Itu yang didepan kelas Bapak kamu? Kenapa kamu diantar? Kayak anak TK saja” aku menatap sengit ke anak yang baru saja bicara.
Mei berbisik namanya Kunto. Sialan sekali anak ini. Dia tidak tahu kalau aku memang tidak pernah TK dan aku baru pertama kali diantar ke sekolah seperti ini. Dan itu karena kalian yang membuatku mual setiap saat. Dalam hati aku berjanji besok-besok aku tidak mau diantar ayah. Aku akan meminta Mami saja yang mengantar.
Hari pertama di kelas 3A itu tidak seru sama sekali. Apanya yang kelas anak-anak cerdas. Ini kelas anak-anak egois. Tidak ada yang mau membantuku menerangkan apa yang dikatakan Bu Zaenab saat beliau berbicara dalam Bahasa Jawa. Bahkan Mei juga tidak mau. Bu Zaenab sendiri tidak mau bertanya padaku untuk tahu apakah aku pernah mendapat pelajaran seperti yang diterangkannya saat ini di Pontianak. Ku akui pelajaran di Jawa lebih cepat dari yang ada di Pontianak. Aku belum pernah mempelajari tentang apa itu Pantun apa itu Puisi di Pontianak. Dan aku tidak diberi kesempatan bertanya. Sebaaal. Walau aku tidak mungkin bertanya juga sih, tapi setidak nya perhatikan lah anak baru iniiii.
Lalu…
Tibalah hari paling mengerikan sedunia. Hari ini hari ketiga aku bersekolah, dan hari ini pula pertama kalinya aku tahu ada pelajaran bahasa daerah. APA ITU?
Aku tidak pernah belajar bahasa daerah di Pontianak. Bahasa daerah apa yang harus kami pelajari? Daerah mana yang dimaksud bahasa ini? Di Pontinak dalam satu kelas kamu akan berteman dengan anak Madura, Bugis, Melayu, Cina, bahkan ada anak Sambas. Naahh kalau ada pelajaran bahasa daerah, aku pasti sudah menguasai 5 bahasa sekaligus, ditambah bahasa Indonesia jadi 6 bahasa. Tapi… dikelas ku saat ini bahasa daerah yang dimaksud adalah bahasa JAWA. Satu kelas ku orang jawa semua. Hanya aku yang berbeda planet dengan mereka.
Pelajaran bahasa jawa ini menjadi momok bagiku. Tidak ada yang aku mengerti sama sekali. Dan aku baru tahu bahasa jawa bukan hanya bahasanya yang dipelajari, tapi juga huruf-huruf nya. Seperti Jepang yang punya huruf kanji, korea selatan yang punya huruf hangul, Thailand yang punya huruf tagalog. Ini Jawa ternyata punya huruf AKSARA JAWA. APA ITU?. Beruntungnya bukan Cuma aku yang terlihat bingung dengan si Aksara ha-na-ca-ra-ka itu. Hampir satu kelas juga memasang tampang bingung spertiku. Tapi setidaknya mereka sudah paham dasar mata pelajaran bahasa daerah ini. Nah aku? Bagiku bahasa jawa itu pelajaran tingkat dewa zeus. Dan huruf hanacaraka itu tingkat dewa neptunus!.
Entah mengapa, aku masih belum bisa menyesuaikan diri dengan kelas baruku, padahal sudah satu minggu aku bertahan. Aku selalu ingin nangis dan tidak mau masuk kelas. Selalu ingin pulang saja. Mami tampak berbincang dengan penjual jajanan di luar. Perut mami terlihat makin besar. Mama sedang hamil memang. Uuh bolehkan aku belajar di dekat mamiku saja? Aku masih merasa asing sekali dengan kelas egois ini.
Kenyataan lain juga menyakitkan. Kelas Dania tepat disebelahku. Temannya asik-asik. Mereka heboh sekali ketika Dania mengenalkanku pada gadis-gadis sekelasnya. Oooh aku ingin pindah kelas saja. Mereka bisa menjadi teman ku semua. Mereka benar-benar menarik dan tidak membosankan. Mereka anak-anak kelas 3B. Mei pernah mencemooh mereka dengan berkata kelas 3B itu kelasnya anak-anak nakal. Mereka hanya pintar saat pelajaran olahraga. Oh yeaah Mei berkata seperti itu karena iri. Yang kulihat anak-anak kelas 3B itu juga pintar-pintar, walau tidak secerdas anak-anak 3A tapi kelas mereka kompak sekali. Wali kelasnya bernama Bu Siti, wajahnya raaamah sekali dan murah senyum. Berbeda sekali dengan wali kelasku. Aku iri.
Di minggu kedua di kelas 3A, aku berdiri sedih di ambang pintu kelas. Tidak ada yang mau mendekatiku atau sekedar basa basi untuk peduli. Mereka semua sibuk dengan diri masing-masing. Aku tidak dikucilkan, tapi entah mengapa rasanya sendirian di kelas ini, membuatku tidak betah di tempat duduk. Sampai temanku yang bernama Agus menyeletuk.
“Eeh si Kunto bilang Elf itu manis”
Aku menoleh ke dalam kelas, melihat Kunto yang sedang memukul kepala Agus dengan keras. Wajahnya merah sekali. Bodohnya tatapanku ke Kunto dianggap lain oleh teman sekelasku, jadilah paduan suara keras sekali dan kompak.
“Cieeeeeeeeeeee”
Aku baru sadar, ternyata mereka sedang mengolok kami. Aku dan Kunto maksudnya. Well…ingat aku masih kelas 3 SD. Ingat? Olokan seperti itu akan menyiutkan nyaliku. Aku tidak tahu apakah yang dikatakan Agus tadi benar atau tidak. Yang jelas aku jadi menjaga jarak pada Kunto. Tidak mau menoleh padanya, tidak mau menyapanya, atau melakukan apapun yang berhubungan dengannya.
Ouuh aku tidak mau lagi di kelas ini. Sungguh. Aku merengek pada Ayah saat pulang sekolah. Aku meronta-ronta tak mau masuk sekolah jika masih dikelas itu. Aku bilang aku ingin sekelas dengan Dania. Untungnya aku belum genap 2 minggu dikelas 3A jadi aku masih bisa pindah kelas. Dan seperti terjadi keajaiban. Keesokan harinya aku sudah diminta duduk di kelas 3B tanpa harus perkenalan di depan kelas. Yeaaayy!!
- Fiuuuhh....bisa juga upload tulisan yang belom jadi ini. Cerita ini muncul saat aku dulu ditawarin Abang Khalis (Abang dari Aceh yang aku kenal pas masih kuliah). Kurasa ada banyak cerita lugu saat pertama kali aku jadi anak Jawa. Cerita yang kutuangkan diatas adalah versi yang sudah dibumbui. Tapi cerita itu benar adanya. Hanya nama-nama tokohnya saja yang aku ganti. Lanjutan ceritanya udah ada si, tapi sebaiknya aku jadi kan part supaya bacanya gak kepanjangan -
NB : Tulisan ini aku cek berulang-ulang di tengah hari sambil minum es teh di plasik saat cuaca sangaaaat panas.
- Fiuuuhh....bisa juga upload tulisan yang belom jadi ini. Cerita ini muncul saat aku dulu ditawarin Abang Khalis (Abang dari Aceh yang aku kenal pas masih kuliah). Kurasa ada banyak cerita lugu saat pertama kali aku jadi anak Jawa. Cerita yang kutuangkan diatas adalah versi yang sudah dibumbui. Tapi cerita itu benar adanya. Hanya nama-nama tokohnya saja yang aku ganti. Lanjutan ceritanya udah ada si, tapi sebaiknya aku jadi kan part supaya bacanya gak kepanjangan -
NB : Tulisan ini aku cek berulang-ulang di tengah hari sambil minum es teh di plasik saat cuaca sangaaaat panas.
Komentar
Posting Komentar